Backdoor listing adalah cara bagi perusahaan untuk go public lewat “pintu belakang”. Normalnya Ketika sebuah perusahaan memutuskan untuk go public sehingga saham melantai di bursa, terdapat sejumlah persyaratan yang rumit mulai dari dokumen sampai menunjuk Penjamin Pelaksana Emisi (underwriter) demi membantu kelancaran proses listing saham di bursa. Ini tentu membutuhkan persiapan, biaya tinggi, dan waktu relatif panjang. Setelah lulus uji kelayakan otoritas jasa keuangan, baru kemudian calon emiten tersebut bisa menyelenggarakan IPO, cara go public ini disebut frontdoor atau “pintu depan”.
Namun ketika perusahaan tidak bersedia melewati proses panjang melelahkan seperti itu, namun ingin saham tercatat di bursa, ada “jalur cepat” yang disebut “backdoor listing”, strateginya dengan membeli sejumlah besar saham perusahaan lain yang sudah listing di bursa (biasanya emiten berkapitalisasi rendah), bertahap atau dalam partai besar, dan setelah perusahaan berhasil menguasai mayoritas saham yang ada, dilakukan aksi akusisi. Operasi perusahaan baru dan lama digabung, dan membuat saham perusahaan baru otomatis tercatat di bursa. Cara seperti ini legal, beberapa perusahaan Indonesia yang melakukan backdoor listing sebut saja seperti PT Air Asia Tbk, PT Eagle High Plantation Tbk, PT Rimo International Lestari Tbk, dan beberapa lainnya.
Backdoor listing disebut juga dengan merger terbalik, IPO terbalik, atau take over terbalik.
Contoh backdoor listing sederhana, katakan ada 2 perusahaan A dan B. Perusahaan A ingin go public, tapi enggan untuk mengikuti segala prosedur dan persyaratan go public. Kemudian perusahaan A intip punya intip, lihat perusahaan B listing di bursa. Perusahaan A kemudian melakukan aksi beli saham perusahaan A, sampai pada satu ketika perusahaan A menjadi mayoritas saham perusahaan B, dan kendali perusahaan B kini berada di tangan perusahaan A, dan dilakukan penggabungan A+B, dengan nama bisnis tetap perusahaan B yang telah melantai di bursa, sederhana bukan?
Apa keuntungan dan kerugian backdoor listing?
Singkat sudah dijelaskan di atas, hemat waktu dan biaya. Tidak perlu mengeluarkan biaya untuk segala persyaratan go public, termasuk untuk proses IPO. Cukup bagi perusahaan “pencaplok” membuat kesepakatan dengan perusahaan yang “dicaplok”, dan tidak menutup kemungkinan pemegang saham perusahaan yang diakusisi, mendapat keuntungan dari kesepakatan yang dibuat. Sederhananya, ketika akusisi pada akhirnya membuat bisnis semakin maju, maka pemegang saham tentu akan senang dengan kenaikan nilai sahamnya.
Namun di sisi lain, ketika ternyata penggabungan perusahaan mengalami kegagalan, beberapa faktor penyebab yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya, tentu ini bisa berakibat kerugian, bukan keuntungan. Atau misalkan penerbitan saham baru yang menyebabkan dilusi saham, akibatnya nilai kepemilikan saham akan mengalami penurunan, dan tentu ini bukan hal yang mengembirakan bagi pemilik saham.
Post a Comment